Kabar Berita

Berita dan Lowongan Kerja Update

Ketika Lahan Makin Terbatas ”Sanggah” di Lantai II, Umat Mulai Buka Akses Ekonomis

KENDATI tidak ditemukan rujukannya dalam sastra agama (atau dalam lontar), penempatan sanggah atau merajan di lantai II, lantai III, dan seterusnya, dianggap benar dikaitkan dengan konsep Tri Angga dan Tri Mandala.
Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Drs. Gde Rudia Adiputra, M.Ag., guru besar Unhi Prof. Dr. I.B. Gunadha, dan Ketua Parisada Bali Dr. IGN Sudiana, M.Si. Sabtu (30/1) kemarin, mengatakan ajaran Hindu cukup fleksibel, termasuk dalam implementasi ajaran konsep Tri Hita Karana. Dalam hal ini unsur parahyangan (sanggah atau merajan). Ketika keterbatasan ruang perkotaan menjadi kendala untuk menempatkan sanggah langsung menyentuh pertiwi, umat Hindu perkotaan menempatkan sanggah di lantai lantai II atau lantai paling atas, di arah Kaja Kangin. Dikaitkan dengan konsep Tri Angga dan Tri Mandala, penempatan sanggah di lantai atas seperti itu masih dibenarkan, mengingat keterbatasan lahan. Fenomena seperti ini sudah tampak sejak tahun 1980-an di Bali, terutama di daerah perkotaan.
Dilihat dari konsep Tri Mandala, penempatan sanggah di atas sudah benar karena posisinya berada di utama mandala. Sedangkan dilihat dari konsep Tri Angga, sanggah di lantai atas itu menduduki posisi kepala (ulu). Prof. I.B. Gunadha mengatakan pada prinsipinya, palinggih didirikan untuk menghubungkan antara pertiwi dan akasa, tempat umat memuja Ida Sang Hyang Widi, bhatara, dan roh leluhur. Karena itu palinggih berdiri di atas tanah dan menjulang ke atas.
Dalam konteks horizontal, pembuatan palinggih menggunakan konsep Asta Kosala Kosali, Tri Mandala, Asta Bumi dan sebagainya. Dalam kaitan itu jelas ada pembagian ruang, mana wilayah spiritual (utama mandala), wilayah manusia atau tempat tinggal (madya mandala) dan aktivitas manusia (kanista mandala) secara horizontal. Jika tempatnya memungkinkan, memang konsep pembuatan tempat suci seperti itu. Tetapi ketika umat menghadapi kendala keterbatasan lahan, utamanya di daerah perkotaan, pendirian sanggah atau merajan memang tetap berpedoman pada konsep itu tetapi dilakukan secara vertikal. ”Karena keterbatasan lahan, sanggah atau merajan ditempatkan di lantai atas (utama mandala), di lantai bawah tempat beraktivitas sehari-hari umat (madya dan kanista mandala),” katanya. Namun, ruangan tepat di bawah sanggah, hendaknya jangan digunakan untuk dapur dan kamar mandi. Jika digunakan sebagai garasi atau membuka akses ekonomis bisnis seperti tempat berjualan bisa saja. Tetapi yang paling baik digunakan untuk perpustakaan dan tempat menempatkan peralatan upacara. Agar tampak asri, sanggah atau merajan tersebut perlu juga ditanami pepohonan atau bunga-bungaan kendati dalam pot.
IGN Sudiana juga sepakat dengan I.B. Gunadha bahwa ruang di bawah sanggah atau merajan tersebut jangan sampai dijadikan tempat aktivitas yang tidak mendukung kesucian. Misalnya, lantai bawah sanggah itu tidak boleh digunakan untuk WC atau kamar mandi. Lantai atau ruangan bawah sanggah itu baik dijadikan ruang perpustakaan, ruang untuk menempatkan peralatan banten dan sejenisnya. ”Asalkan di bawahnya tidak digunakan untuk WC atau kamar mandi, ruang bawah sanggah itu bisa juga digunakan untuk tempat berjualan atau toko, serta garasi kendaraan pun boleh,” ujarnya.
Karena menyangkut rasa, tambah IGN Sudiana dan Gde Rudia, penempatan sanggah di lantai II dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Tetapi dikaitkan dengan konsep Tri Mandala dan Tri Angga dan dihubungkan dengan keterbatasan lahan, sesungguhnya sanggah di lantai II masih dibenarkan. Pun, sesungguhnya, lanjut IGN Sudiana, tiang beton lantai dasar sanggah sudah terpancang ke pertiwi. Tetapi, jika masih kurang sreg karena menganggap pedagingan sanggah seolah-olah belum menyentuh pertiwi, bisa dicarikan solusi dengan menempatkan pipa berisi tanah langsung ke pertiwi. (lun)

January 31, 2010 - Posted by | Uncategorized | , , , , ,

No comments yet.

Leave a comment